Oleh : Prof. Dr. Nurhayati, M.Ag.
Hampir seminggu berlalu, gagasan Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas (Gus Men), telah memicu kontroversi. Ada sedikit orang yang keberatan dengan gagasan tersebut dengan berbagai alasan. Namun jika ditelisik gagasan tersebut lebih bersifat kekhawatiran akan kesiapan KUA dalam menjalankan tugas besar tersebut. Namu ada banyak pihak yang setuju dengan gagasan Gus Yaqut yang inkonvensional atau dalam Bahasa yang berbeda disebut pemikiran out of box.
Dalam konteks system berpikir, gagasan Gus Men sesungguhnya masuk dalam kategori yang “tidak terpikirkan”, bukan pada wilayah yang tidak dapat dipikirkan. Gus Men membongkar dan menghentakkan apa yang selama ini kita anggap sudah selesai. Tidak dapat dipungkiri selama ini KUA telah diposisikan hanya untuk mengurusi persoalan atau urusan orang Islam saja, sebut saja sebagai tempat pencatatan dan pelaksanaan pernikahan. Sedangkan pernikahan non muslim dicatatkan di kantor catatan sipil. Bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun kita memandang hal ini secara normative atau taken for granted.
Dalam konteks inilah, Gus Men seakan mengajukan pertanyaan besar, Apakah cara berpikir ini sudah benar ? Apakah cara kita mengelola dan mengurusi urusan umat Bergama sudah tepat ? Jangan-jangan ada yang keliru untuk tidak menyatakannya sebagai suatu yang salah. Selanjutnya Gus Men menawarkan sebuah pemikiran yang dilandasai basis filosofis yang sangat kuat. Dalam perspektif Gus Men, Kementerian Agama sebagai organ pemerintah harus mengurusi urusan umat beragama dengan prinsip egalitarianisme dan kesetaraan.
Tidak ada diskriminasi. Jika urusan ibadah, negara hadir dalam rangka memfasilitasi agar setiap pemeluk agama dapat menjalankan ibadahnya dengan nyaman dan aman. Pemerintah tentu tidak masuk pada urusan ritual dan substansinya. Untuk kedua hal ini dikembalikan kepada agama masing-masing. Selanjutnya dalam konteks urusan mu’malah dan administrasinya, negara harus benar-benar hadir dan memastikan semuanya dapat terlayani dengan baik.
Kantor Urusan Agama (KUA) bukan Kantor Urusan Agama Islam (KUAI), memang sejatinya harus melayani semua umat beragama. Kantor KUA harus benar-benar hadir memberi kemudahan dan melayani keperluan umat bergama. Apapun agamnya semisal berkenaan administrasi perkawinan. Tentu bukan hanya persoalan catat mencatat. Namun lebih dari itu, bagaimana KUA berfungsi lebih luas dari itu. Sampai di sini, Upaya pemetaan hal-hal apa saja yang dapat diurus oleh KUA harus segera dilakukan.
Dalam catatan saya, ada tiga hal penting yang dapat diperankan oleh KUA. Pertama, Persoalan perkawinan dengan hal yang bertaut dengannya adminstrasi pencatatan, pelaksanaan, sampai pada soal pembentukan keluarga Sakinah, keluarga Bahagia, Keluarga Kristiani dan lain-lain. KUA dapat memerankan dirinya secara optimal di sini.
Kedua berkenaan dengan urusan rumah ibadah. Bahkan bagi pemeluk agama yang belum memiliki tempat ibadah dapat memfungsikan KUA untuk kegiatan ritual agama sekalipun, jika menurut agama tersebut, dapat dilaksanakan di KUA.
Ketiga, Masalah moderasi umat bergama juga hal penting yang dapat diperankan oleh KUA. Harus diingat, jika kita melihat struktur Kementerian Agama, maka sesungguhnya KUA dan juga penyuluh agama adalah ujung tombak Kementerian Agama di Masyarakat. Karena itulah, peran maksimal KUA untuk hadir sebagai pelayan umat beragama menjadi niscaya.
Kendati demikian, hal terpenting adalah, bagaimana menterjemahkan gagasan Gus Men ini ke dalam program yang lebih implementatif. Saya setuju dengan beberapa catatan para pakar, di antaranya, perlu mempersiapkan dengan cermat segala perangkat tata aturan yang berkaitan dengan perluasan fungsi KUA.
Tegasnya masalah regulasi harus menjadi perhatian yang serius. Konkritnya kita perlu memerlukan harmonisasi hukum, perundang-undangan dan peraturan terkait lainnya. Kedua, KUA perlu direstrukturisasi yang memungkinan urusan semua agama dapat ditata sedemikian rupa. Bersamaan dengan hal ini, kesiapan anggaran juga menjadi niscaya. Tambahan lagi, SDM yang selama ini menjadi persoalan besar kita harus juga dapat diatasi.
Selanjutnya, menurut hemat saya, Kementerian Agama, UIN (Universitas Islam Negeri) , IAIN (Institut Agama Islam Negeri), STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri), IAKN (Institut Agama Kristen Negeri), STAKPN (Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri), STAKN (Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri), UHN (Universitas Hindu Negeri), STABN (Sekolah Tinggi AgamA Buddha Negeri) bersama Lembaga-lembaga terkait lainnya, perlu duduk Bersama dan merumuskan Langkah-langkah konkrit dalam rangka akselerasi perluasan atau transformasi KUA ini. Kesiapan regulasi dan SDM menjadi hal mendesak.
Hemat saya, Gagasan Gus Men ini bukan saja relevan namun lebih dari itu menjadi menjadi sebuah keharusan untuk memastikan kehadiran Kementerian Agama benar-benar dirasakan oleh semua pemeluk agama. Kita berharap ini adalah salah satu ikhtiar terbaik untuk menguatkan kerukunan umat beragama di Indonesia di masa kini dan masa-masa yang akan datang. Insya Allah