Surabaya, (UIN SU)
Forum akbar intelektual yang digagas Kementerian Agama (Kemenag) yakni The Annual International Cenference on Islamic Studies (AICIS) ke-22 Tahun 2023 resmi ditutup di UIN Sunan Ampel Surabaya dan menghasilkan beberapa hal di antaranya dicetuskannya Piagam Surabaya yang menolak keras politik identitas.
Penutupan digelar di kampus Islam negeri tersebut pada Kamis (4/5) malam dirangkai dengan sejumlah agenda penting. Turut dihadiri para pejabat Kemenag, pimpinan perguruan tinggi keagamaan Islam seluruh Indonesia dan resmi ditutup Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi.
Pada laporan penutupan, Direktur Pendidikan Tinggi Islam Kemenag Ahmad Zainul Hamdi menyampaikan, AICIS tahun ini digelar berbeda dengan formula baru. Melaksanakan empat sesi utama dengan 12 narasumber yang berasal dari Indonesia, Turki, United Kingdom, Amerika Serikat, Mesir dan Australia. Terdapat 49 panel sessions yang tiap bagiannya terdapat empat panelis, satu chair dan tiga materi diskusi serta didampingi administrator.
Sajian keilmuan yang dibahas dalam tiap sesi pada AICIS 2023 ini juga dapat diakses secara virtual dan secara realtime menggunakan akses internet dari berbagai belahan dunia. Para forum akademis ini, terdapat 441 partisipan yang ikut secara aktif. Sebelumnya, yang mendaftar pada ajang ini sebanyak 4.061 orang, namun kuota terbatas. Jadi Zainul menyampaikan, bahwa peserta yang berhasil ikut forum yang kali ini membahas rekontekstualisasi fiqih ini merupakan orang-orang terpilih dan bukan sembarangan.
Ia juga melaporkan, pada AICIS 2023 di Surabaya ini, terdapat 2.751 peserta yang aktif mengikuti rangkaian agenda baik secara daring dan luring. Perhelatan intelektual di lingkungan PTKI dan disinyalir terbesar di Indonesia ini berhasil menjangkau lebih dari 2.000 orang dan berhasil summit atau menyajikan sekitar 461 karya tulis (papers) yang akan disajikan di 55 jurnal yang ditentukan dan kredibel.
Ia menjelaskan, dari 461 karya tulis itu, semua akan dipublikasikan. Puluhan di antaranya akan dimuat di jurnal-jurnal internasional. Lainnya akan dimasukkan di jurnal standar Sinta II dan Sinta III. Peserta tahun ini didominasi dari Indonesia, Malaysia dan negara-negara lainnya. Direktur Pendidikan Tinggi Islam juga sampaikan apresiasi dan terima kasih kepada seluruh panitia yang berjibaku menyukseskan acara ini, dan berhasil mengemas AICIS sebagai kegiatan yang baru dengan format terbarukan.
AICIS ke-22 ini menghasilkan rumusan Surabaya Charter atau Piagam Surabaya. Ada enam rumusan Surabaya Charter, salah satunya menegaskan penolakan terhadap politik identitas.
AICIS berlangsung sejak 2 Mei 2023 di UIN Sunan Ampel Surabaya. Ajang ini dibuka oleh Menag Yaqut Cholil Qoumas.
Giat ini diikuti para akademisi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Forum ini menampilkan 180 paper pilihan yang terbagi menjadi 48 kelas paralel. Tema yang diangkat pada gelaran tahun ini adalah Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace.
Selain diikuti para ahli fiqih dari kalangan pesantren, forum ini juga menghadirkan cendekiawan muslim internasional.
Sebagai pembicara, antara lain: Dr (HC) KH Yahya Cholil Staquf (Indonesia), Prof Dr Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA (Indonesia), Prof Abdullahi Ahmed An Na’im (Amerika Serikat), Prof Dr Usamah Al-Sayyid Al Azhary (Universitas Al Azhar di Mesir), Muhammad Al Marakiby, PhD (Mesir), Dr Muhammad Nahe’i, MA (Indonesia), Prof Dr Rahimin Affandi Bin Abdul Rahim (Malaysia), Prof Mashood A. Baderin (Inggris), Dr (HC) KH Afifuddin Muhajir (Indonesia), Prof Dr Şadi Eren (Turki), Prof Tim Lindsey PhD (Australia), Prof Dr Mohd Roslan Bin Mohd Nor (Malaysia), dan Ning Allisa Qotrunnada Wahid (Indonesia).
Piagam Surabaya
Rumusan Surabaya Charter dibacakan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya Ahmad Muzakki pada penutupan AICIS 2023 di Auditorium UIN Sunan Ampel Surabaya. Turut mendampingi saat pembacaan rekomendasi Surabaya Charter, Prof Dr Mohd Roslan Bin Mohd Nor dari Malaysia, Prof Eka Sri Mulyani (Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh) dan pembicara kunci asing lainnya.
“Menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras,” tegas Ahmad Muzakki.
“Memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan dan keadilan beragama,” lanjutnya membacakan rekomendasi berikutnya.
Rektor UIN Sunan Ampel Ahmad Muzakki menjelaskan Surabaya Charter bertujuan menjawab tiga hal. Pertama, bagaimana agama di dunia yang berubah dengan cepat ini dapat berkontribusi untuk menyelesaikan krisis kemanusiaan?
Kedua, bagaimana fikih bisa menjadi landasan bagi peradaban manusia yang menempatkan manusia sejajar satu sama lain? Ketiga, bagaimana fikih harus menjadi sumber hubungan dan koeksistensi antaragama yang toleran dan damai?
Jawaban itu tertuang dalam enam rekomendasi Piagam Surabaya.
Pertama, rekontekstualisasi semua doktrin dan pemikiran keagamaan yang tidak sesuai dengan prinsip martabat manusia, kedamaian dan keadilan. Kedua, menjadikan maqashid al-syariah (tujuan tertinggi hukum Islam) sebagai prinsip penuntun reformulasi fikih.
Ketiga, definisi, tujuan dan ruang lingkup fikih harus didefinisikan ulang atas dasar integrasi pengetahuan Islam, ilmu sosial dan hak asasi manusia untuk mengatasi masalah kontemporer.
Selanjutnya, keempat, menafsirkan ulang semua doktrin fiqih yang mengkategorikan dan mendiskriminasi manusia atas dasar agama atau etnis, seperti konsep kafir dzimmy dan kafir atau memandang selain muslim sebagai tidak setara dan warga negara kedua. Kelima, menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik.
Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras.
Keenam, memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan, dan keadilan beragama.
Untuk mengimplementasikan fikih sebagai sumber peradaban manusia, maka dituntut untuk menempatkan seluruh manusia sebagai mitra yang setara, bernilai dan aktif, bukan objek yang pasif. “Semua pemimpin agama dan ulama memikul tanggung jawab membuat agama untuk kemanusiaan dan perdamaian,” tandas Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya.
Menyesuaikan zaman
Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi menyampaikan, 22 tahun digelar ini menujukkan kematangan PTKI dalam memberikan kontribusi intelektual bagi pembangunan nasional dan dunia dalam pengembangan wacana keagamaan islamic studies. Muslim Indonesia yang terbesar memerlukan upaya penyegaran pemahaman secara terus menerus sekaligus implementasi ajaran Islam yang lebih kontekstual seiring dengan arus perkembangan zaman yang kian cepat berubah.
Ini juga tepat, karena Surabaya khususnya dan Jawa Timur umumnya, merupakan miniatur berkembangkan peradaban Islam Nusantara. Di wilayah ini berdiri ribuan pesantren, madrasah, PT Islam, majelis taklim dan halaqah kailmuan Islam yang melahirkan cendikaiwan, ulama dan kiyai sehingga penyelenggaraan AICIS menemukan momentumnya, hal ini ditandai dengan tingginya minat masyarakat akademik yang menyambut perhelatan ini.
Ia menilai, Jawa Timur punyak khazanah kebudayaan nusantara terkait dengan praktik keagamaan sehingga bisa jadi sumber untuk menjadi Islam yang rahmatan lil ‘alamin atau agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Saat ini kita menghadapi tantangan zaman yang sangat kompleks. Kemajuan teknologi membentuk watak masyarakat yang berbeda dengan sebelumnya. Maka perlu peran para pakar untuk mengembangkan kajian akademik.
Sehingga dan agar Islam selalu relevan dengan perkembangan zaman. Sebagai agama yang memiliki visi universalisme Islam memberikan ruang sangat luas untuk melakukan tafsir dan pemaknaan ulang agar ajaran Islam yang bersifat ijtihadi dapat diterima dan relevan dengan kebutuhan nyata, khususnya untuk menjaga keharmonisasian, perdamaian dan kesejahteraan untuk kehidupan umat manusia. Islam dekat dengan konsep kasih sayang (rahmah) dan konsep kelembutan. Ini perlu dijadikan landasan dalam praktik kehidupan yang majemuk, modern dan kompleks.
Tema AICIS tahun ini yakni ‘Rekontekstualisasi fiqih untuk kesetaraan kemanusiaan dan perdamaian berkelanjutan’ dinilai sangat tepat untuk mencoba menggali dalam menghadapi tantangan hidup dan kemodernan. Meski soal kajian fiqih yang sudah lama diwacanakan ini, sebagai upaya untuk melihat ulang tentang kesesuaian dengan perkembangan zaman.
Hal itu, dinilai akan memberikan makna yang lebih jelas melalui pengujian, pembuktian dan bahan evaluasi oleh para ahli sejauh ini. Sehingga peran fiqih Islam yang lebih ramah terhadap isu-isu kemanusiaan dan perdamaian sehingga secara penuh bisa berkontribusi bagi peradaban manusia di dunia.