Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) kali ini mengangkat tema Redefining the Roles of Religion in Adressing Human Crisis. Isu ini menjadi penting di tengah gejolak krisis kemanusiaan akibat dari konflik antarnegara, perang semakin meluas yang berdampak kelaparan ekstrem dan kemiskinan.
AICIS adalah konferensi tahunan yang diinisiasi oleh Kementerian Agama. Kali ini pelaksanaannya yang ke-23. Dalam sebuah laporan dari Kantor PBB untuk urusan kemanusiaan menyebutkan, 235 juta orang di dunia terdampak krisis kemanusiaan (Data Kompas, 2021). Selain karena perang, perubahan iklim yang cukup ekstrem dan efek pascapandemi begitu terasa menghantam sendi-sendi kehidupan warga dunia.
Dari sekian banyaknya yang terdampak, mereka orang-orang yang datang dari negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim. Indonesia sendiri kewalahan mengatasi pengungsi Rohingnya yang terus menerus bergelombang datang melalui perairan Sumatera khsususnya Aceh. Hingga hari ini belum ada kebijakan solutif yang bisa mengatasi atau menyelesaikan persoalan tersebut. Bahkan terakhir muncul penolakan dari warga lokal hingga terjadi pengusiran secara paksa.
Di sisi lain krisis kemanusiaan seperti kemiskinan, kerusakan lingkungan, wabah, pelanggaran HAM, kelaparan ekstrem yang melanda negara-negara Muslim justru berbanding terbalik dengan kuatnya praktik-praktik religiusitas.
Masjid-masjid selalu ramai, umat Muslim begitu antusias dalam beribadah, bahkan saat pandemi ditengah gencarnya pemerintah melarang sholat berjamaah di masjid karena berpotensi terjangkit virus covid 19, sebagian umat muslim tetap tidak menghiraukan. Tak sedikit yang mengabaikan prosedur kesehatan dengan dalih penyakit datangnya dari Tuhan, hidup dan mati ada ditangan Tuhan.
Fenomena ini menandakan intensitas ibadah-ibadah ritual tersebut tidak berdampak secara sosial. Sebaliknya justru membawa efek buruk. Praktik religiusitas yang lain misalnya di dalam Islam yakni sedekah yang bertujuan menyelesaikan ketimpangan ekonomi melalui pendistribusian harta kepada kelompok-kelompok rentan secara finansial (kaum dhuafa), tidak begitu membawa dampak secara langsung pada tingkat kesejahteraan umat muslim itu sendiri.
Fenomena ini semacam mengonfirmasi pernyataan para ilmuwan sekuler yang pesimis terhadap masa depan agama sebagai alternatif penyelesaian krisis manusia modern. Justru fakta di atas perlu menyadarkan kita sebagai orang yang beragama untuk berpikir kembali, menelaah lagi cara penghayatan keagamaan kita. Pada situasi menghadapi peliknya kehidupan modern dengan krisis kemanusiaan.
Doktrin Islam menyeru agar orang tidak hanya saleh secara individual, akan tetapi saleh secara sosial. Praktik-praktik keagamaan berupa ibadah yang sifatnya individual (shalat, puasa, zakat, dan haji) harus sejalan dengan praktik ibadah-ibadah sosial. Artinya penghayatan terhadap agama tidak hanya berdampak atau dirasakan oleh diri sendiri tetapi juga kepada orang lain.
Kita mungkin pernah mendengar sindirin para ulama yang mengatakan bagaimana kita bisa khusyuk melaksanakan sholat, sedang tetangga kita lagi dalam keadaan lapar. Oleh karena itu untuk mendorong kembali agar umat beragama memiliki kepekaan sosial dalam merespon krisis kemanusiaan, perlu adanya gagasan baru, pemaknaan ulang atas doktrin, bahkan perangkat ilmu pengetahuan dalam Islam itu sendiri. Khususnya fiqh sebagai ilmu dasar.
Semangat untuk mendekatkan fiqh dengan realitas sosial merupakan grand design pemikiran fiqh yang menekankan upaya mendukung universalitas Islam yang berorientasi pada persoalan-persoalan kemasyarakatan dan kemanusiaan.
Belakangan muncul kesadaran para pengkaji keislaman baik personal maupun kolektif, seperti NU misalnya yang telah bergerak sejak setahun yang lalu dalam giat Halaqah Fiqh Peradaban untuk mengajak pesantren beserta santri dan Kyai-nya mulai bergerak dari argumentasi qauli (narasi) ke manhaji (metodologi) sehingga ajaran Islam senantiasa menjadi solusi kapan pun dan di mana pun Islam berada. Termasuk dalam mengawal perjuangan perdamaian yang anti kekerasan dan peperangan atas nama kemanusiaan.
Oleh karenanya melalui AICIS kali ini bahasan tentang dialektika antara doktrin dan realitas perlu diperbincangkan ulang. Ini agar Islam melalui perangkat kelimuannya bisa merespon perkembangan yang terjadi di tengah masyarakat, jika perlu mampu menjadi solusi mencegah krisis kemanusiaan.
Kementerian Agama melalui forum AICIS sendiri tentu berkepentingan menyuarakan dan merespon tentang wacana kontemporer seperti solusi krisis kemanusiaan, masalah ekonomi, perkembangan tekhnologi, keadilan hukum dan HAM serta jalannya demokrasi dengan dialog akademik. Para ilmuwan berkumpul mengurai masalah dan mencari alternatif dengan berbagai pendekatan serta sudut pandang pengetahuan yang beragam.